Angka kebutaan dan gangguan penglihatan di Indonesia terus mengalami peningkatan dengan prevalensi 1,5 persen dan tertinggi dibandingkan negara-negara Asia seperti India sebesar 0,7 persen dan Thailand 0,3 persen. "Hasil Survei Kesehatan Indera tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan meningkat dari 1,2 persen pada tahun 1982 menjadi 1,5 persen," kata Direktur Jenderal Bina Kesmas Kementerian Kesehatan Budihardja dalam temu media di gedung Kemenkes, Jakarta, Jumat.
Diperkirakan sebanyak empat juta orang dewasa dan anak mengalami kebutaan di Indonesia dan hal tersebut memprihatinkan karena seharusnya 90 persen kebutaan dapat ditanggulangi dengan pencegahan atau pengobatan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan perhatian terhadap masalah ini dengan memulai inisiatif global "Vision 2020: The Right to Sight" atau Hak Untuk Melihat.
Inisiatif global itu juga ditandatangani oleh pemerintah Indonesia yang mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1473 tahun 2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK). Adapun program prioritasnya adalah upaya penanggulangan kebutaan akibat katarak, glaukoma, kelainan refraksi dan xeroftalmia. "Untuk mengingatkan visi ini maka setiap tahun diperingat 'World Sight Day' pada minggu kedua Oktober," ujar Budihardja.
Tahun 2010 ini peringatan Hari Melihat Sedunia itu akan dilakukan pada tanggal 14 Oktober yang akan bertema "Countdown 2020". Selain kebutaan, yang perlu mendapatkan perhatian juga adalah gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi 24,7 persen yang penderitanya antara lain sekitar 6,6 juta anak usia sekolah (5-19 tahun).
Ketua Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia Nila Moeloek memperkirakan sekitar 70-80 persen penderita gangguan refraksi di usia anak sekolah belum dapat diperbaiki menggunakan kacamata karena tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah. "Kami bekerjasama dengan pihak swasta, LSM dan ormas untuk bisa memberikan bantuan, misalnya toko kacamata kami minta untuk menyumbangkan satu atau dua kacamata untuk membantu anak sekolah ini," papar Nila.
Sumber
Diperkirakan sebanyak empat juta orang dewasa dan anak mengalami kebutaan di Indonesia dan hal tersebut memprihatinkan karena seharusnya 90 persen kebutaan dapat ditanggulangi dengan pencegahan atau pengobatan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan perhatian terhadap masalah ini dengan memulai inisiatif global "Vision 2020: The Right to Sight" atau Hak Untuk Melihat.
Inisiatif global itu juga ditandatangani oleh pemerintah Indonesia yang mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1473 tahun 2005 tentang Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (Renstranas PGPK). Adapun program prioritasnya adalah upaya penanggulangan kebutaan akibat katarak, glaukoma, kelainan refraksi dan xeroftalmia. "Untuk mengingatkan visi ini maka setiap tahun diperingat 'World Sight Day' pada minggu kedua Oktober," ujar Budihardja.
Tahun 2010 ini peringatan Hari Melihat Sedunia itu akan dilakukan pada tanggal 14 Oktober yang akan bertema "Countdown 2020". Selain kebutaan, yang perlu mendapatkan perhatian juga adalah gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi 24,7 persen yang penderitanya antara lain sekitar 6,6 juta anak usia sekolah (5-19 tahun).
Ketua Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia Nila Moeloek memperkirakan sekitar 70-80 persen penderita gangguan refraksi di usia anak sekolah belum dapat diperbaiki menggunakan kacamata karena tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah. "Kami bekerjasama dengan pihak swasta, LSM dan ormas untuk bisa memberikan bantuan, misalnya toko kacamata kami minta untuk menyumbangkan satu atau dua kacamata untuk membantu anak sekolah ini," papar Nila.
Sumber