Mengenang 29 Tahun Tragedi Sabra & Shatila
Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah “kamp Sabra dan Shatila” menjadi biasa. Penduduknya membengkak oleh karena pengungsi-pengungsi Palestina dan Syi’ah dari selatan yang melarikan diri dari perang.
Pada bulan Juni 1982, tentara Zionis menyerang Libanon dan setelah mengusir angkatan bersenjata Oragnisasi Pembebasan Palestina (PLO) keluar dari Beirut, ibu kota Libanon, kota inipun diduduki oleh tentara Zionis, kemudian pada malam 16 September 1982, para milisi Falangis di bawah komando Elie Hobeika, memasuki kamp penampungan Sabra-Shatila, dan seharian pada tanggal 17 September 1982 atau selama 36 hingga 48 jam berikutnya dihitung sejak tanggal 16 September 1982, para milisi Falangis yang didukung tentara Zionis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, termasuk membunuh warga sipil Palestina baik perempuan, anak-anak, dan orang tua termasuk memperkosa. Sementara atas perintah Ariel Sharon, Menteri Perang Israel pada waktu itu, militer Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan suar di malam hari.
Jumlah korban sebenarnya diperdebatkan. Ada kesepakatan umum bahwa jumlah yang pasti sulit ditentukan, karena kondisi yang kacau pada saat dan setelah pembantaian, penguburan, dan penghitungan awal para korban. Selain itu, malah ini juga sangat sensitif secara politis bahkan hingga hari ini. Diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya seperempat dari para korban adalah orang Lebanon dan sisanya Palestina. Berikut ini adalah klaim-klaim utama yang disusun berdasarkan jumlah korban:
Surat dari kepala utusan Palang Merah kepada Menteri Pertahanan Lebanon, yang dikutip dalam laporan Komisi Kahan sebagai “bukti 153″, menyatakan bahwa wakil-wakil Palang Merah telah menghitung 328 mayat; tetapi komisi ini mencatat bahwa “namun demikian angka ini tidak mencakup semua mayat…”
Komisi Kahan mengatakan bahwa, menurut “sebuah dokumen yang tiba di tangan kami (bukti 151), jumlah korban keseluruhan yang tubuhnya ditemukan sejak 18.9.82 hingga 30.9.82 adalah 460″. Komisi ini mengklaim bahwa angka ini terdiri dari “jumlah mayat yang dihitung oleh Palang Merah Lebanon, Palang Merah Internasional, Pertahanan Sipil Lebanon, korps medis dari tentara Lebaon, dan oleh keluarga para korban.”
Angka yang diberikan Israel, berdasarkan intelijen Angkatan Pertahanan Israel (IDF), menyebutkan 700-800 mayat. Menurut pandangan Komisi Kahan, “ini mungkin sekali angka yang paling dekat dengan realitas.”
Menurut BBC, “sekurang-kurangnya 800″ orang Palestina meninggal.
Bayan Nuwayhed al-Hout dalam bukunya Sabra and Shatila: September 1982 (Pluto, 2004) menyebutkan jumlah minimum 1.300 nama korban berdasarkan perbandingan terinci dari 17 daftar korban dan bukti-bukti pendukung lainnya dan memperkirakan jumlah yang bahkan lebih tinggi lagi.
Robert Fisk, salah seorang wartawan pertama yang mengunjungi tempat kejadian, mengutip (tanpa membenarkan) para perwira Falangis yang mengatakan bahwa “2.000 ‘teroris’ - perempuan maupun laki-laki - telah terbunuh di Chatila.” Bulan Sabit Merah Palestina menyebutkan angka lebih dari 2.000 orang (Schiff and Ya’ari 1984).
Dalam bukunya yang diterbitkan segera setelah pembantaian itu, wartawan Israel, Amnon Kapeliouk dari Le Monde Diplomatique, menyimpulkan sekitar 2.000 jenazah yang disingkirkan setelah pembantaian itu menurut sumber-sumber resmi dan Palang Merah dan “perkiraan yang kasar sekali” menduga 1.000-1.500 korban lainnya yang disingirkan oleh para Falangis itu sendiri. Angka keseluruhannya yaitu 3.000-3.500 ini yang sering dikutip oleh orang Palestina.
Pembantaian ini membangkitkan kemarahan di seluruh dunia. Pada 16 Desember 1982, Sidang Umum PBB mengutuk pembantaian ini dan menyatakannya sebagai suatu tindakan genosida. Namun tidak ada tindakan, baik nasional maupun internasional, yang dilakukan terhadap komandan Falangis, Elie Hobeika, yang terbunuh oleh sebuah bom di Beirut pada 2002.